lifestyle

Waspadai kematian jantung mendadak, kenali gejala dan faktor risikonya

Kamis, 13 November 2025 | 09:30 WIB
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI)/Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) dr. Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), FIHA dalam acara Road to Pulse Day 2026 (ANTARA/HO-Eugenia Communication)



HARIAN MERAPI -Belakangan ini banyak ditemukan kasus kematian jantung mendadak, masyarakat harus waspada.


Masyarakat diimbau mengenali faktor risiko mencegah kematian jantung mendadak.


Sekretaris Jenderal Perhimpunan Aritmia Indonesia (PERITMI)/Indonesian Heart Rhythm Society (InaHRS) dr. Agung Fabian Chandranegara, Sp.JP(K), FIHA mengingatkan masyarakat untuk mengenali faktor risiko pribadi dan melakukan pemeriksaan kesehatan rutin untuk mencegah kematian jantung mendadak.

Baca Juga: KPK Tegaskan Penggeledahan Kantor Disbudparpora Ponorogo Terkait Kasus Baru

“Periksa tekanan darah, kadar gula, dan kolesterol minimal setahun sekali. Bila ada riwayat keluarga meninggal mendadak di usia muda, jantung berdebar, atau pingsan tanpa sebab jelas, maka orang tersebut harus segera konsultasi ke dokter jantung,” katanya dalam keterangan pers yang diterima, Rabu.

Ia mengatakan fenomena Sudden Cardiac Death (SCD) atau kematian jantung mendadak menjadi salah satu masalah kardiovaskular serius. SCD menyumbang sekitar 10 hingga 15 persen dari seluruh kematian global setiap tahunnya akibat gangguan irama jantung yang sering tidak terdeteksi sebelumnya.

Secara global, insiden SCD pada populasi umum diperkirakan mencapai 40–100 kasus per 100.000 orang per tahun. Agung mengatakan meskipun angka kematian sempat menurun antara tahun 1999 hingga 2018, data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan sejak 2018, menandakan bahwa tantangan ini masih jauh dari selesai.

Baca Juga: Korban Tewas Topan di Filipina Mencapai 259 Orang, 1.238 Sekolah Hancur

“Laki-laki tercatat memiliki risiko lebih tinggi dibanding perempuan, dengan perbandingan angka mortalitas 5,23 berbanding 2,71,” ujar dr. Agung.

Agung menambahkan, mengenali tanda-tanda gangguan irama jantung sangat penting diketahui seperti nyeri dada, sesak, mudah lelah, atau detak jantung yang tidak teratur. Jika merasa ada kelainan, maka pemeriksaan lanjutan seperti EKG, ekokardiografi, atau Holter monitoring mungkin perlu juga dilakukan.

Ia juga menekankan melakukan gaya hidup sehat tetap menjadi kunci, seperti berhenti merokok, rutin berolahraga, tidur cukup, dan mengelola stres bisa menurunkan risiko secara signifikan.*

Berdasarkan jaringan Pan-Asian Resuscitation Outcome Study (PAROS), tingkat kelangsungan hidup henti jantung di luar rumah sakit (Out-of-hospital cardiac arrest/OHCA) di kawasan Asia rata-rata hanya sekitar 4–6 persen, jauh di bawah angka di negara-negara Barat.

Ini menunjukkan pentingnya sistem tanggap darurat yang kuat dan edukasi publik agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan ketika seseorang mengalami henti jantung. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pemahaman masyarakat mengenai Bantuan Hidup Dasar (BHD) seperti resusitasi jantung paru (RJP, atau Cardiopulmonary resuscitation (CPR)).

“Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit/OHCA, setiap menit tanpa CPR menurunkan peluang hidup secara signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa CPR oleh bystander CPR (penolong/orang di sekitar pasien) dapat meningkatkan peluang hidup tiga hingga empat kali lipat, sedangkan penggunaan AED (Automated External Defibrillator) oleh masyarakat bisa meningkatkan peluang hidup hingga lima kali lipat,” kata dr. Agung.

Halaman:

Tags

Terkini