HARIAN MERAPI – Kerajinan produk anyaman maupun tenun sudah lama dikenal di Indonesia. Bahkan bisa ada peningkatan proses pembuatan hingga kualitas.
Khususnya terkait tenun, ada pula alat tenun bukan mesin (ATBM) yang masih dilestarikan di berbagai tempat. Namun, dalam perjalanannya semangat bertenun kian berkurang.
Hal tersebut seperti diungkap praktisi pembuat kerajinan tenun, Eka Yulia Dewi yang tinggal di Pedusan, Sedayu, Bantul, baru-baru ini.
Suami Eka, Sugianto pun membenarkan hal tersebut.
“Sehingga adanya peringatan Hari Tenun Nasional setiap tanggal 7 September termasuk upaya dari pemerintah dan berbagai pihak untuk dapat melestarikan keberadaan tenun,” jelas Eka.
Dalam suasana Hari Tenun Nasional, lanjut Eka, ia dan suaminya banyak menyebarkanluaskan informasi seputar tenun maupun Hari Tenun Nasional.
Salah satunya lewat sejumlah media sosial. Selain itu, ia juga banyak di rumah membuat produk tenun. Sedangkan suami berinovasi membuat alat tenun bukan mesin (ATBM).
Baca Juga: Didukung home industri kendang, Gilangharjo siap jadi sentra kerajinan gamelan perunggu
“Alat tenun yang dibuat suami saya lebih praktis dan operasionalnya lebih mudah. Cara operasionalnya cukup dengan tangan, tanpa perlu bantuan kaki,” urai Eka.
Selain itu pola atau motif yang dihasilkan pada produk tenunnya juga bisa lebih bervariasi. Sehingga, ia sendiri membuat produk-produk tenun menggunakan ATBM hasil karya suaminya.
“Di sejumlah negara lain ada juga yang membuat ATBM, tapi harganya mahal, belum lagi ongkos kirimnya untuk sampai Indonesia,” papar Eka.
Ibu dari tiga anak ini menambahkan, produk tenun yang biasa dibuat antara lain produk syal berbagai ukuran, warna dan motif. Konsumen yang membeli produk tersebut bisa secara langsung maupun online.