harianmerapi.com - Konon yang namanya nadar bisa diibaratkan sebagai sebuah utang. Maka sebelum dilaksanakan, orang yang mempunyai nadar seakan masih mempunyai utang.
Harus dibayar. Jika tidak, bisa berakibat kurang baik. Seperti Parman yang jauh hari mengucapkan nadar.
Jika dirinya diterima sebagai ASN, dia akan cukur gundul, plontos. Nasib baik berpihak kepadanya.
Baca Juga: Ramadhan Sebagai Syahrul Judd atau Bulan Kemurahan
Langsung dia ngibrit ke tukang cukur. Minta digundul. Tidak malu- malu, kemana pun pergi, kepalanya yang tanpa rambut itu idak ditutup dengan topi.
Tak tahunya semua itu menjadi awal terhadinya pengalaman mistis.
Malam itu Parmun pulang dari jagong bayen tetangganya, berjalan kaki sendirian. Agar cepat sampai rumahnya, dia mengambil jalan pintas.
Konsekwensinya, harus melewati pinggir Makam desa yang konon wingit. Berjalan sendirian di tempat sunyi, sepi, seorang diri, di pinggir Makam lagi.
Yang terdengar hanya suara jengkerik, belalang, dan binatang malam. Jujur, sebenarnya ciut juga nyalinya. Untuk mengusir rasa takutnya dia bersiul- siul kecil.
Tiba- tiba... “Pakde, aku ikut..! Pakde, aku ikut..!”. Terdengar suara bocah memecah suasana sunyi. Saking kagetnya Parmun sampai njondil dan jatuh terduduk.
Tidak tahu darimana datangnya, tiga bocah kecil seumuran kelas Nol Besar merubungnya. Wajahnya tampak berseri-seri. Dan ketiganya berkepala gundul, plontos.
Ini pasti hantu tuyul, batin Parman. Beruntung, Parmun masih bisa menguasai dirinya. Sebisanya dia berdoa.
Memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Agung. Dalam sekejap hantu tuyul wujud tiga bocah laki-laki tanpa selembar benang pun menutupi tubuhnya itu hilang dari pandangan mata Parmun.
Keesokan harinya dia sowan Mbah Wongsoijan, sesepuh dusun. Menceriterakan kejadian yang dialami semalam. Panjang- lebar Mbah Wongsoijan menjelaskan tentang Makam desa yang wingit tersebut.