Kalau bukan karena terpaksa ia tidak akan melewati pekerangan rumah Wage. Pasalnya hanya ada satu-satunya jalan menuju rumahnya.
Angin kencang mulai menumbangkan pepohonan. Tak lama petir menyambar pohon asem yang sudah berumur ratusan tahun. Dasimah pun begitu panik ia ingin segera tiba di rumahnya.
Akses jalan menuju rumahnya terhalang pohon tumbang. Ia pun mencoba melewati pohon tumbang.
Dasimah terpaksa meninggalkan motornya dan berjalan mencari jalan yang dapat ia lewati. Dengan tubuh basah kuyup dan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya ia berjalan sambil meraba-raba karena malam itu begitu gelap.
Terdengar suara ringkihan kuda. Tentu bukan ringkihan kuda pada umumnya. Tak lama suara itu kian mendekat, diikuti derap langkah kuda yang semakin lama semakin cepet berlari ke arahnya. Badannya gemetaran ia hanya bisa menjerit.
“Toloong…Toloong…! Dasimah pun menjerit sekencang-kencangnya.
Sadikin yang mendengar jeritannya, semula ragu untuk menghampiri. Pasalnya suara
jerit tangis kerap terdengar namun tak ada seorang pun di sana.
Tapi suara itu berulang kali terdengar di telinga dan terdengar semakin kencang. Rasa penasaran mengalahkan ketakutannya.
“Sepertinya suaranya tidak asing” ucap Sarno.
“Ayo segera kita tolong” sahut Sadikin. (Dikisahkan Iis Suwartini UAD di Koran Merapi) *