HARIAN MERAPI - Beberapa waktu belakangan ini dihebohkan berita tentang mycoplasma pneumonia. Berikut penjelasan dokter spesialis anak di Rumah Sakit Umum Pusat dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Nastiti Kaswandani.
Nastiti menyebut tingkat keparahan mycroplasma pneumonia tidak separah SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
"Dibandingkan dengan COVID-19, influenza, atau penyebab pneumonia lain seperti pneumokokus yang kemarin vaksinnya baru kita adopsi di program nasional, itu keparahan miycoplasma pneumonia jauh lebih rendah," katanya dalam konferensi pers virtual terkait miycroplasma pneumonia diikuti dalam jaringan (daring) di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Ia mengatakan mycoplasma pneumonia bukan suatu bakteri yang baru di dunia, berbeda dengan COVID-19 yang memang sejak 2019 dikenal sebagai virus baru.
Baca Juga: Mengaku Petugas PUPR Lakukan Penipuan dengan Korban Pengusaha Resto di Gunungkidul, Ini Modusnya
Nasiti mengatakan mycoplasma pneumonia sudah lama disebutkan dalam berbagai literasi tentang pneumonia sebagai bakteri penyebab pneumonia pada anak.
Sebelum pandemi pun, kata dia, muncul penelitian di China yang menyebutkan proporsi mycroplasma pneumonia paling tinggi terjadi pada anak prasekolah dan usia anak sekolah sebesar 30 persen, sedangkan pada bayi mencapai lima persen.
Ia mengatakan gejala yang ditimbulkan hampir mirip dengan gejala Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA), diawali demam kemudian batuk.
"Batuk ini mengganggu, bisa sampai dua sampai tiga pekan menetapnya, cukup lama," kata Nastiti.
Baca Juga: Serangan tentara Israel makin membabi buta, malah samakan Hamas dengan Nazi
Gejala lainnya yang juga mengiringi pasien mycroplasma pneumonia, lanjutnya, adalah nyeri tenggorok. Pada anak dewasa, terkadang nyeri dada hingga lemas.
Nastiti mengatakan tingkat mortalitas atau risiko kematian dari penyakit itu relatif rendah, hanya 0,5 sampai 2 persen.
"Itu pun hanya terjadi pada mereka dengan komorbiditas," katanya.
Nastiti mengimbau masyarakat untuk tidak perlu khawatir berlebihan terhadap mycroplasma pneumonia yang kini terdeteksi di Jakarta mencapai enam kasus per November 2023.