Secara hukum tidak masalah. Dalam APBN 2026 memang ada pasal yang memperbolehkan pemerintah memindahkan dana dari Bank Indonesia ke bank umum mitra. Tapi tetap harus ada batasan dan akuntabilitas.
Dana Rp200 triliun itu disebar ke enam bank: BNI, BRI, Mandiri, BTN, BSI, dan sebagian kecil ke Bank DKI. Bunga yang diberikan 4 persen dengan tenor enam bulan.
Tapi saya mengingatkan, jangan sampai ini hanya jadi “parkir dana” baru. Tujuan utamanya adalah menyegarkan ekonomi riil, bukan mempercantik neraca bank.
Kebijakan ini berbeda jauh dari pendekatan Sri Mulyani yang lebih konservatif. Apakah ini pergeseran mazhab ekonomi?
Baca Juga: Inilah perbedaan iPhone 17, iPhone 17 Pro, dan iPhone 17 Pro Max beserta kisaran harganya
Iya, jelas berbeda. Bu Sri Mulyani mewakili mazhab kapitalisme swasta — disiplin, hati-hati, mengandalkan mekanisme pasar.
Pak Purbaya membawa mazhab kapitalisme negara — berani cawe-cawe, negara aktif menggerakkan roda ekonomi.
Keduanya masih dalam kerangka kapitalisme, tapi dengan karakter berbeda. Saya pribadi melihat Purbaya mencoba menjadi jembatan antara state capitalism dan market capitalism.
Itu bagus. Asal jangan ekstrem ke kiri atau kanan. Kita ini negara Pancasila, jadi harus berdiri di tengah — kapitalisme yang berkeadilan.
Baca Juga: KPID Jakarta: Kasus Trans7 momentum perkuat peran media, bukan sekadar mengejar viralitas
Apakah dengan langkah ini target pertumbuhan 6–7 persen realistis tercapai?
Secara logika, tidak mudah. Penggelontoran Rp200 triliun memenuhi syarat perlu, tapi belum syarat cukup.
Untuk mencapai pertumbuhan tinggi, kita butuh lebih dari sekadar uang beredar.
Harus ada iklim bisnis yang sehat, penegakan hukum yang tegas, dan pemberantasan korupsi.