HARIAN MERAPI - Disrupsi digital telah menjadi keniscayaan di hampir seluruh sektor ekonomi, termasuk industri keuangan dan asuransi.
Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menyaksikan percepatan besar-besaran dalam adopsi teknologi di sektor e-commerce, transportasi digital, hingga layanan keuangan berbasis daring.
Laporan e-Conomy SEA 2024 oleh Google, Temasek, dan Bain & Company mencatat, ekonomi digital Asia Tenggara pada 2024 mencapai nilai sekitar Rp4.320 triliun, tumbuh 15 persen dibanding tahun sebelumnya.
Baca Juga: Pemerintah Batalkan Visa, 6 Atlet Israel Gagal Berlaga di Kejuaraan Dunia Senam 2025
Dari jumlah tersebut, sektor e-commerce menjadi penyumbang terbesar dengan nilai transaksi mencapai Rp1.082 triliun.
Pertumbuhan ini menunjukkan perubahan perilaku masyarakat yang semakin bergantung pada layanan digital, menuntut industri keuangan dan asuransi untuk beradaptasi menghadirkan produk yang mudah diakses dan sesuai kebutuhan pengguna.
Menjawab Regulasi dan Kepercayaan Publik
Transformasi digital di sektor keuangan tidak semata tentang adopsi teknologi, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan tata kelola yang kuat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui kebijakan seperti POJK 11/2023 dan POJK 23/2023 menegaskan pentingnya governance, manajemen risiko, serta transparansi pelaporan.
Regulasi tersebut menjadi ‘rem dan pedal gas’ yang menjaga keseimbangan antara inovasi dan akuntabilitas.
Dalam era keterbukaan informasi, kepercayaan publik menjadi aset paling berharga. Reputasi perusahaan kini tidak hanya ditentukan oleh laporan keuangan tahunan, tetapi juga oleh pengalaman pelanggan yang tersebar luas melalui media sosial.
Baca Juga: Soal Temuan 29 Ribu Beras Rusak, Mentan Amran Pastikan Tetap Bernilai Meski Jadi Pakan Ternak
Big Data dan AI: Pilar Transformasi Baru