Kontroversi muncul ketika pemerintah menjual 51 persen saham BCA kepada investor asing pada 2001 seharga sekitar Rp 5 triliun. Saham itu kemudian beralih ke Grup Djarum. Perbandingan dengan kondisi sekarang membuat publik tercengang.
Per Agustus 2025, kapitalisasi pasar BCA mencapai Rp1.344 triliun. Artinya, 51 persen saham setara lebih dari Rp 685 triliun.
Terkait hal itu, muncul pernyataan terkait apakah harga jual saat itu benar-benar mencerminkan nilai wajar bank yang baru saja diselamatkan dengan obligasi triliunan rupiah?
Kritik Tokoh dan Laporan BPK
Baca Juga: Kenal di Facebook, sepeda motor SH dibawa kabur selingkuhannya setelah cekin di hotel
Kritik terhadap proses bailout dan penjualan saham BCA bukan hal baru. Kwik Kian Gie, Menko Ekuin saat itu, menolak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI karena melihat adanya potensi kerugian negara.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga dalam laporannya menyinggung indikasi kerugian negara dari skema rekap. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan publik bukan sekadar opini liar.
Bukan Merampas, Melainkan Audit Keadilan
Sebagian pihak khawatir pembahasan ulang bailout dapat mengguncang stabilitas perbankan. Padahal, wacana ini tidak serta-merta berarti pengambilalihan paksa.
Yang ditekankan adalah audit keadilan, hal tersebut terkait kemungkinan negara yang dirugikan, rekayasa dalam penjualan, hingga koreksi yang dapat dilakukan tanpa merugikan investor publik.
Sejumlah negara, seperti Korea Selatan, juga pernah melakukan evaluasi terhadap penjualan aset bank pasca krisis Asia.
Pihak yang menyebut ide peninjauan ulang sebagai sesat menilai hal itu bisa merusak kepercayaan pasar, menimbulkan ketidakpastian, serta melindungi kepentingan pemegang saham pengendali.
Baca Juga: Kasus pengangkutan bansos Kemensos. KPK tetapkan lima tersangka, kerugian ditaksir Rp 200 miliar
Kendati demikian, memberi label sesat pada sebuah wacana publik dinilai justru menutup ruang diskusi yang sehat.