Menguak Misteri Bailout BCA: Wajar Ditinjau Ulang atau Benar-benar 'Sesat'?

photo author
- Selasa, 19 Agustus 2025 | 19:50 WIB
Ilustrasi bailout atau pemberian bantuan keuangan ke perusahaan atau negara yang jika tidak dibantu akan mengalami kebangkrutan atau kegagalan.  (Unsplash.com/@Micheile)
Ilustrasi bailout atau pemberian bantuan keuangan ke perusahaan atau negara yang jika tidak dibantu akan mengalami kebangkrutan atau kegagalan. (Unsplash.com/@Micheile)

Kontroversi muncul ketika pemerintah menjual 51 persen saham BCA kepada investor asing pada 2001 seharga sekitar Rp 5 triliun. Saham itu kemudian beralih ke Grup Djarum. Perbandingan dengan kondisi sekarang membuat publik tercengang.

Per Agustus 2025, kapitalisasi pasar BCA mencapai Rp1.344 triliun. Artinya, 51 persen saham setara lebih dari Rp 685 triliun.

Terkait hal itu, muncul pernyataan terkait apakah harga jual saat itu benar-benar mencerminkan nilai wajar bank yang baru saja diselamatkan dengan obligasi triliunan rupiah?

Kritik Tokoh dan Laporan BPK

Baca Juga: Kenal di Facebook, sepeda motor SH dibawa kabur selingkuhannya setelah cekin di hotel

Kritik terhadap proses bailout dan penjualan saham BCA bukan hal baru. Kwik Kian Gie, Menko Ekuin saat itu, menolak memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI karena melihat adanya potensi kerugian negara.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga dalam laporannya menyinggung indikasi kerugian negara dari skema rekap. Hal ini menunjukkan bahwa keraguan publik bukan sekadar opini liar.

Bukan Merampas, Melainkan Audit Keadilan

Sebagian pihak khawatir pembahasan ulang bailout dapat mengguncang stabilitas perbankan. Padahal, wacana ini tidak serta-merta berarti pengambilalihan paksa.

Baca Juga: BRI terus berinovasi hadapi lanskap bisnis digital, QLola by BRI catat volume transaksi Rp 5.970 triliun, user tambah 41 persen

Yang ditekankan adalah audit keadilan, hal tersebut terkait kemungkinan negara yang dirugikan, rekayasa dalam penjualan, hingga koreksi yang dapat dilakukan tanpa merugikan investor publik.

Sejumlah negara, seperti Korea Selatan, juga pernah melakukan evaluasi terhadap penjualan aset bank pasca krisis Asia.

Pihak yang menyebut ide peninjauan ulang sebagai sesat menilai hal itu bisa merusak kepercayaan pasar, menimbulkan ketidakpastian, serta melindungi kepentingan pemegang saham pengendali.

Baca Juga: Kasus pengangkutan bansos Kemensos. KPK tetapkan lima tersangka, kerugian ditaksir Rp 200 miliar

Kendati demikian, memberi label sesat pada sebuah wacana publik dinilai justru menutup ruang diskusi yang sehat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Husein Effendi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

INSTAR Beri Pengakuan atas Praktik Keberlanjutan IFG

Selasa, 16 Desember 2025 | 18:40 WIB
X