HARIAN MERAPI - Demo yang marak belakangan ini diwarnai penembakan gas air mata ke arah demonstran.
Bila gas air mata terhirup dan masuk ke dalam paru-paru bisa berpengaruh bagi kesehatan.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengingatkan bahwa gas air mata memiliki sejumlah bahaya bagi kesehatan apabila sampai terhirup masuk ke dalam paru-paru.
Baca Juga: Hendry Ch Bangun memilih di luar struktur PWI, ini alasannya
"Secara umum gas air mata dapat menimbulkan dampak pada kulit, mata dan paru serta saluran pernapasan," kata Ketua Majelis Kehormatan PDPI Prof. Tjandra Yoga Aditama saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Prof. Tjandra mengatakan gas air mata yang disemprotkan mengandung beberapa bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh, seperti chloroacetophenone (CN), chlorobenzylidenemalononitrile (CS), chloropicrin (PS), bromobenzylcyanide (CA) dan dibenzoxazepine (CR).
Kandungan kimia yang terhirup masuk ke dalam paru berpotensi meningkatkan risiko gejala akut dalam paru dan saluran napas yang berupa dada berat, batuk, tenggorokan seperti tercekik, batuk, bising mengi, dan sesak napas.
Dalam keadaan tertentu bahkan seseorang bisa mengalami gawat napas atau respiratory distress.
Baca Juga: Dipecat dari Polri, Kompol Cosmas Mengaku Tidak Ada Niat Menghilangkan Nyawa Affan Kurniawan
Pada orang-orang yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid seperti asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), gas air mata dapat menimbulkan serangan sesak napas akut yang bukan tidak mungkin berujung di gagal napas (respiratory failure).
Adapun dampak lain yakni munculnya rasa seperti terbakar di bagian mata, mulut dan hidung. Orang yang terkena gas itu bisa pula mengalami pandangan kabur dan kesulitan menelan.
"Juga dapat terjadi semacam luka bakar kimiawi dan reaksi alergi," kata Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu.
Penerima Penghargaan Achmad Bakrie XXI di bidang kesehatan tersebut turut mengingatkan meski dampak utama gas air mata adalah dampak akut yang segera timbul, pada keadaan tertentu dapat terjadi dampak kronik berkepanjangan.
"Hal ini terutama kalau paparan berkepanjangan, dalam dosis tinggi dan apalagi kalau di ruangan tertutup," ujar Prof. Tjandra.