HARIAN MERAPI - Anak yang hidup di keluarga yang mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) rentan mengalami kekerasan.
Mereka harus mendapatkan perhatian serius agar tumbuh kembangnya sehat dan tak menjadi korban.
Hal tersebut diingatkan psikolog klinis dari Universitas Indonesia Mellia Christia, M.Si., M.Phil saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Baca Juga: Korban kekerasan seksual butuh orang yang tepat untuk menerima ceritanya, jangan asal-asalan
Ia mengatakan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang mempraktikkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) rentan menormalisasi kekerasan.
"Itu seakan-akan menjadi pembenaran bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan itu normal kalau penuh dengan kekerasan," kata Mellia.
Menurut Mellia, anak akan melihat hubungan orang tuanya sebagai proyeksi dalam membangun hubungan dengan orang lain pada masa mendatang. Melalui interaksi orang tuanya, anak akan menilai bagaimana cara laki-laki dan perempuan berinteraksi.
"Artinya dia melihat bahwa, 'oh, begini, ya, cara orang berinteraksi antara laki-laki dan perempuan'," kata Mellia.
Baca Juga: Firli diberhentikan sementara, mantan penyidik KPK Novel Baswedan mengaku tak pernah calonkan diri
Interaksi orang tua, kata Mellia, akan menjadi dasar anak dalam membina hubungan dengan orang lain.
"Normalisasi kekerasan, agresivitas, kemudian memperlakukan pasangan dengan tidak baik, itu seakan-akan menjadi kebenaran untuk seorang anak," kata sang psikolog.
Mellia melihat kasus KDRT yang menempatkan perempuan sebagai korban bisa memengaruhi persepsi anak terhadap ibunya. Kemungkinan yang terjadi, menurut dia, anak bisa saja tidak menghargai perempuan atau orang tua dan penilaiannya terhadap sosok seorang ibu.
"Kemudian mungkin dampak lainnya adalah bagaimana penilaiannya terhadap ibunya, kompetensi seorang ibu, serta juga dia belajar untuk menjadi pelaku," kata Mellia.
Baca Juga: Begini cara mengenali hoaks dan ujaran kebencian jelang Pemilu 2024
Mellia mengatakan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga yang memiliki riwayat KDRT tidak hanya dapat menjadi pelaku kekerasan, namun, juga berpotensi berhadapan dengan trauma.