Keranjingan
Bagai toserba (toko serbaada), media sosial menyajikan konten yang sangat beragam, yang sekaligus merepresentasikan profil warganet sebagai pengunggahnya. Ada konten edukatif, perniagaan, hiburan, banyak pula yang receh, hingga penipuan bahkan aksi jual diri pun menggunakan mimbar media sosial.
Seperti dua sisi mata uang, positif atau negatif amat bergantung pada siapa pengguna dan bagaimana memanfaatkannya. Banyak yang menebar kebaikan dengan konten inspiratif, namun kalah banyak dengan bertebarannya konten receh tak berfaedah tapi viral.
Motivasi para penggunanya juga beragam, mulai dari mencari sensasi, popularitas, berburu cuan, sampai melakukan kejahatan. Maka kualitas tingkat literasi masyarakat perlu diperbaiki agar mampu menyaring dan hanya memilih konten yang baik untuk ditonton.
Viralnya konten-konten receh yang tiada mengundang kebermanfaatan tentu saja mencerminkan bagaimana tingkat literasi warganet.
Selera receh warganet juga yang rupanya telah merangsang para pembuat konten untuk melakukan aksi-aksi gila. Apalagi ketika jumlah penonton (viewer) dan pengikut (follower) turut mendatangkan keuntungan bagi akun pengunggah konten, makin menjadi-jadilah ajang perlombaan di jagat maya.
Baca Juga: Ditemukan mayat dalam karung di Kediri, polisi masih lakukan identifikasi
Bermunculan OKB (orang kaya baru) berkat media sosial, menyusul viralnya konten-konten yang mereka produksi. Hal itu menginspirasi banyak kalangan (termasuk yang belum berpengetahuan cukup) untuk berlomba menghasilkan uang dengan cara gampang. Syahwat ngonten pun akhirnya melahirkan para keranjingan.
Faktanya, keranjingan, kecanduan, atau tergila-gila mampu mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal di luar nalar. Maka sukailah segala sesuatu dalam kadar wajar, lakukanlah segala kesenangan secara masuk akal, agar kewarasan tetap terjaga dan akal sehat terpelihara.
Oleh karena itu, akal sehat dan adab sebagai pemandu membangun dan merawat peradaban manusia sudah seharusnya dikedepankan. Pun ketika ngonten.(*)