Ia juga menekankan pentingnya memberi ruang untuk berempati, bisa dengan menunggu informasi yang valid sebelum dibagikan, memberi waktu pada keluarga korban untuk berdamai dengan keadaan dan tidak menjadikan semua tragedi untuk dijadikan konten sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
“Konten yang berempati bukan berarti kehilangan daya tarik, justru sebaliknya, ia membangun kepercayaan dan kredibilitas yang jauh lebih dalam di mata publik. Karena di balik setiap layar, selalu ada hati dan rasa kemanusiaan yang harus dijaga,” terangnya.
Lebih jauh Derajad mengatakan adanya media sosial membuat perubahan pada masyarakat yang kini selalu membagikan aktivitasnya di dunia maya sebagai cara manusia menampilkan diri, berinteraksi dan membangun makna sosial.
Aktivitas mengunggah foto, video, atau status bukan lagi sekadar berbagi informasi, tetapi telah menjadi bentuk ekspresi identitas dan pencarian pengakuan sosial.
Dengan sosial media, publik bisa menampilkan pengalaman hidup, gagasan, bahkan memperjuangkan isu sosial melalui konten yang menjadikan media sosial kini menjadi ruang partisipasi publik yang luas dan dinamis.
Baca Juga: FIFGROUP Gelar Hajatan Cabang Klaten, Banyak Promo Menarik untuk Apresiasi Pelanggan Setia
“Kita sedang menyaksikan pergeseran nilai dari being ke showing, dari mengalami menjadi menampilkan. Momen-momen kehidupan sering kali kehilangan kedalaman karena lebih diarahkan untuk menjadi konten ketimbang pengalaman. Di titik ini, media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga mekanisme kontrol sosial baru di mana algoritma, opini publik, dan tekanan sosial membentuk perilaku manusia,” kata Derajad.
Derajad melihat fenomena serba upload juga bisa dibaca sebagai bentuk cultural citizenship baru, di mana warganet menegaskan kehadiran dan suara mereka dalam ruang publik digital.
Banyak anak muda menggunakan media sosial untuk berkreasi, mengedukasi, dan mengorganisir perubahan sosial.