HARIAN MERAPI - Inilah pentingnya kolaborasi antara orang tua dan sekolah untuk kepentingan menjaga kesehatan mental remaja.
Apa hubungannya ? Hubungannya sangat erat, bahkan kolaborasi antara orang tua dan sekolah menjadi kunci menjaga kesehatan mental remaja.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyatakan kolaborasi antara orang tua dan sekolah merupakan kunci agar kesehatan mental remaja tetap berkualitas meski menghadapi banyak gejolak seperti pubertas maupun masalah dalam pergaulannya.
Anggota Satuan Tugas (Satgas) Remaja IDAI dr. Braghmandita Widya Indraswari, M.Sc, Sp.A, Subsp.T.K.P.S(K), mengatakan sekolah dan orang tua adalah dua faktor lingkungan paling dekat dan harus menjadi yang paling peka terhadap perubahan remaja sehingga bisa memastikan kesehatan mentalnya terjaga.
"Kolaborasi adalah hal yang penting, jadi kesehatan mental remaja itu bukan hanya menjadi tanggung jawab guru, atau bukan hanya menjadi tanggung jawab dari orang tua saja. Tetapi bisa tercipta lewat kolaborasi peran orang tua, guru, dan konselor jika memang ada peran konselor di sekolah," katanya dalam seminar daring yang diikuti dari Jakarta, Selasa.
Dokter yang berpraktik RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta itu mengatakan dari sisi faktor orang tua atau keluarga, dalam mendampingi remaja agar kesehatan mentalnya terjaga perlu memastikan bahwa keluarga harus menjadi ruang yang aman bagi anak untuk berekspresi.
Salah satu cara membuat lingkungan keluarga menjadi ruang aman bagi remaja adalah dengan mengajarkan komunikasi yang terbuka dan membimbingnya mencerna beragam emosi baik itu yang sifatnya positif maupun negatif.
"Remaja tidak boleh takut, tidak boleh malu dengan orang tuanya. Sehingga harapannya anak bisa bercerita pada orang tua kalau dia punya masalah. Dia tahu harus kemana saat mencari pertolongan," ujar dokter Braghmandita.
Baca Juga: 6 pilar utama penanganan kanker menurut pakar onkologi China, bisa dipakai di Indonesia ?
Selain itu, keluarga juga bisa memberi ruang aman bagi remaja lewat dukungan aktif berupa apresiasi dan motivasi sehingga rasa dihargai bisa tumbuh.
Ketika remaja mengalami masalah, maka nantinya keluarga menjadi tempat pertama untuk dirinya mencari solusi nyata dan bukan mendapatkan solusi fiktif yang dapat menjerumuskan bahkan berpotensi membuatnya mengalami masalah gangguan mental.
"Remaja ini karakteristiknya lebih percaya para peer group, padahal peer group-nya juga sama-sama remaja yang pola pemikirannya sama. Belum tentu mereka bisa memberikan solusi baik dan bahkan kadang memberikan solusi yang negatif," katanya.
Selanjutnya, dalam menjaga kesehatan mental remaja peran sekolah perlu memastikan bahwa lingkungannya bersifat inklusif.