HARIAN MERAPI - Pelarangan gim online atau Roblox hendaknya didasarkan pada kebijakan yang edukatif.
Pemerintah hendaknya melakukan kebijakan berdasarkan edukasi dan kolaborasi dari komunitas maupun pelaku industri gim terkait pelarangan gim online.
Demikian saran dari Ketua Umum Asosiasi Game Indonesia Shafiq Husein ketika dihubungi ANTARA, Senin.
“Kami memahami kekhawatiran di balik keputusan pelarangan Roblox, namun menilai bahwa kebijakan tersebut membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh dan berdasar pada edukasi serta kolaborasi,” kata Shafiq .
Shafiq mengatakan pemerintah dan pemangku kebijakan sebaiknya melakukan dialog terbuka bersama komunitas, orang tua, dan pelaku industri game untuk mencari solusi terbaik ketimbang mengambil langkah pelarangan menyeluruh.
Shafiq juga memahami adanya kebijakan pelarangan permainan Roblox dimainkan oleh anak-anak dan mendukung kebijakan untuk melindungi anak dari konten yang tidak sesuai, namun pelarangan total bukan tindakan yang tepat untuk menghadapi tantangan ini.
Ia menyarankan untuk melakukan dialog terkait peningkatan pengawasan orang tua, sistem klasifikasi usia, dan literasi digital agar ekosistem industri gim tetap sehat dan dapat berdampak baik bagi anak-anak.
Baca Juga: Akhiri konflik Israel-Palestina, ini yang diusulkan Rusia kepada AS
Ia percaya jika Roblox digunakan dengan pendampingan dan literasi digital yang memadai, akan banyak developer muda Indonesia yang bisa mengembangkan potensi dan kariernya melalui Roblox.
“Roblox adalah platform kreatif yang memungkinkan jutaan anak dan remaja di seluruh dunia untuk belajar pemrograman, desain game, serta kolaborasi digital secara aktif. Banyak developer muda Indonesia yang memulai kariernya dari Roblox,” kata Shafiq.
Shafiq mengatakan AGI sebagai asosiasi siap untuk duduk bersama pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang lebih bijak, terarah, dan edukatif demi ekosistem digital yang sehat dan inklusif bagi generasi muda Indonesia.
Diberitakan bahwa kementerian dan lembaga sepakat meminta pemblokiran gim online yang mengandung unsur kekerasan karena berpotensi membahayakan anak-anak.
Menurut data yang dihimpun Komisi X, sebanyak 65 persen siswa di Indonesia menghabiskan waktu minimal empat jam per hari untuk bermain games daring, belum termasuk waktu yang digunakan untuk mengakses media sosial.*