HARIAN MERAPI - HIV/AIDS masih menjadi momok penyakit mematikan di dunia, termasuk Indonesia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pun terus mengajak warga berperan untuk mengeliminasi HV/AIDS di Indonesia.
Sebab, pada dasarnya hdup sehat merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati.
"Mengakhiri AIDS sangat erat kaitannya dengan penegakan seluruh hak asasi manusia. Dalam konteks keberagaman Indonesia, mari kita bersama-sama bertindak menegaskan kembali bahwa martabat, kesetaraan, dan keadilan harus menjadi dasar dalam upaya menanggulangi HIV dan AIDS," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dr Ina Agustina Isturini dalam gelar wicara Hari AIDS Sedunia 2024 yang diikuti secara daring di Jakarta, Sabtu.
Ina menyatakan Indonesia memiliki komitmen yang kuat kepada dunia dalam upaya mengeliminasi HIV/AIDS.
Dalam hal ini, Indonesia diharapkan untuk mencapai tiga hal, yakni meniadakan kasus baru, meniadakan kematian akibat AIDS, serta meniadakan diskriminasi atau yang sering disebut sebagai three zero/triple zero.
Maka dari itu, Ina menyebutkan Indonesia telah melakukan berbagai langkah strategis dalam memerangi HIV, yang mencakup peningkatan akses diagnosis dan pengobatan, perluasan layanan pemeriksaan viral load, serta penerapan program pencegahan yang termasuk pemberian obat profilaksis.
"Kemajuan ini telah menyelamatkan banyak nyawa, tetapi perjalanan kita masih panjang. Stigma dan diskriminasi sosial menciptakan hambatan besar, terutama bagi populasi yang terpinggirkan seperti pengguna narkoba suntik, pekerja seks, dan komunitas LSL," ujarnya.
Oleh karena itu, beber Ina, Indonesia telah menetapkan target 95 persen orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terdiagnosis, 95 persen ODHA menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) seumur hidup, serta 95 persen ODHA yang menjalani pengobatan memiliki viral load yang tidak terdeteksi.
Namun, berdasarkan data Kemenkes hingga September 2024 ditemukan baru 71 persen dari perkiraan ODHA di Indonesia yang mengetahui status HIV-nya, hanya 64 persen dari mereka yang mendapatkan pengobatan ARV, dan baru 49 persen dari ODHA yang menjalani pengobatan tersebut dites viral load, dengan hasil virus yang tidak terdeteksi.
"Angka ini masih jauh dari target global. Oleh karena itu, diperlukan terobosan dan inovasi untuk menjawab tantangan ini," lanjutnya.