Mengapa penderita TBC rentan mengalami gangguan kesehatan mental, begini penjelasan peneliti

photo author
- Selasa, 26 Maret 2024 | 11:00 WIB
Peneliti tuberkulosis dan akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Ahmad Fuady M.Sc PhD dalam konferensi pers Hari Tuberkulosis bersama Stop TB Partnership Indonesia (STPI) di Jakarta, Senin (25/3/2024)  (ANTARA/Fitra Ashari)
Peneliti tuberkulosis dan akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Ahmad Fuady M.Sc PhD dalam konferensi pers Hari Tuberkulosis bersama Stop TB Partnership Indonesia (STPI) di Jakarta, Senin (25/3/2024) (ANTARA/Fitra Ashari)



HARIAN MERAPI - Penderita TBC rentan mengalai gangguan kesehatan mental ketika berada di lingkungannya.


Mengapa ? Penderita TBC kerap dikucilkan dari lingkungannya sehingga rentan mengalami gangguan kesehatan mental.


Hal ini disampaikan peneliti tuberkulosis dan akademisi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Ahmad Fuady M.Sc PhD dalam konferensi pers Hari Tuberkulosis bersama Stop TB Partnership Indonesia (STPI) di Jakarta, Senin.

Baca Juga: STY yakin Indonesia mampu akhiri catatan minor ketika bertandang ke Vietnam

Ia mengatakan penderita tuberkulosis atau TBC rentan mengalami gangguan kesehatan mental karena kerap dikucilkan dari lingkungannya.

"Yang kena TBC apalagi yang resistan obat, mereka masih mengalami mental health yang terganggu, gimana kerjaannya, gimana kalau ditinggal teman, dikeluarkan dari kerjaan, ditinggal pasangan. Mereka butuh support psikologis," kata Ahmad.

Ahmad mengatakan dalam penelitian yang pernah ia lakukan di tujuh provinsi di Indonesia, sebanyak 61 persen orang mengalami stigmatisasi TBC, dan 31 persen di antara mereka mengalami depresi.

Baca Juga: Industri knalpot aftermarket miliki potensi ekonomi tinggi, Teten : Mereka perlu diedukasi

Pengukuran tingkat depresi pasien TBC ada pada bagaimana stigmatisasi masyarakat yang dialamatkan pada pasien, adanya depresi atau kecemasan terhadap pekerjaan dan reaksi keluarga, dan bagaimana kualitas hidupnya setelah didiagnosa terkena tuberkolosis.

Ia mengatakan perlu adanya intervensi dari berbagai pihak baik pribadi maupun komunitas penyintas TBC agar bisa membangun sebuah sistem dukungan yang bisa menurunkan masalah kecemasan penderita TBC.

"Yang sedang kami lakukan di dua provinsi Depok dan Padang, kami ukur kalau ada pasien datang pertama kali terdiagnosis TBC baik sensitif maupun kebal ditanya ada nggak masalah mentalnya, kalau ada kita skrining dan di arahkan ke pertemuan kelompok," katanya.

Baca Juga: Gegara promosikan judi online, seorang anggota gangster ditangkap polisi

Grup konseling dilakukan dengan memberikan ruang pada penderita TBC mengekspresikan keluh kesahnya dan saling membantu satu sama lain karena memiliki kesamaan yang bisa dibagikan.

Konseling juga bisa dilakukan untuk keluarga yang kerap mengucilkan anggota keluarga lainnya yang terkena TBC, agar mereka tetap bisa diterima di lingkungan keluarganya.

Dukungan juga bisa diwujudkan dari lingkungan pekerjaan dengan memberikan hak-hak bagi penderita TBC jika mereka pergi ke pusat kesehatan. Ahmad mengatakan perusahaan sebaiknya tidak mengeluarkan karyawannya karena TBC, diberikan keleluasaan untuk berobat, dan tidak dipotong gaji saat izin berobat setidaknya 2 bulan atau 2 minggu sampai pasien merasa lebih baik.

Baca Juga: Produk non halal wajib cantumkan keterangan tidak halal, ini alasannya....

Bagi pekerja yang memiliki risiko terpapar silika di pekerjaannya, perusahaan diharapkan memberikan fasilitas skrining agar TBC bisa dicegah lebih awal.*

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Sumber: ANTARA

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X