"Lalu yang mungkin terjadi dan sering kita tidak sadari adalah intoleransi dan diskriminasi, karena perbedaan agama, suku, dan lain-lain, atau perbedaan ekonomi juga bisa," katanya.
Kemudian, jenis kekerasan yang terakhir yakni terkait kebijakan, dimana pihak sekolah dan dinas pendidikan bisa saja mengeluarkan aturan tetapi mengandung kekerasan.
"Jadi pernah ada kejadian, sekolah bikin aturan dan masuk tata tertib, anak yang ketahuan merokok di kelas hukumannya ditampar oleh teman satu kelas, itu berarti mengandung kekerasan, atau misalnya datang terlambat, lalu mendapatkan hukuman push up, sit up, kalau saya bilang, enggak boleh melakukan itu," tutur dia.
Baca Juga: Begini cara agar masyarakat bisa mengakses beras murah ala Pemkot Surakarta. Cukup bawa KTP
Ia juga menekankan, guru tidak boleh memberi sanksi pada anak-anak yang menimbulkan rasa malu atau merendahkan anak, misalnya mencukur rambut dengan paksa.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kemendikbudristek Drs. I Nyoman Rudi Kurniawan yang hadir secara daring dalam gelar wicara tersebut menyebutkan bahwa satuan pendidikan mesti mengimplementasikan Permendikbudristek nomor 16 tahun 2022 tentang Standar Proses pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
"Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 huruf C dirancang agar peserta didik mengalami proses belajar sebagai pengalaman yang menimbulkan emosi positif," kata Nyoman.
Baca Juga: Menko Polhukam Komitmen Usut Skandal BLBI, Hardjuno Wiwoho: Jangan Sekadar Lips Service
Dalam peraturan tersebut, pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, menarik, aman, dan bebas dari perundungan, menggunakan berbagai variasi metode dengan mempertimbangkan aspirasi peserta didik, serta tidak terbatas hanya dalam kelas.
"Kemudian juga mengakomodasi keberagaman gender, budaya, bahasa daerah setempat, agama dan kepercayaan, karakteristik, dan kebutuhan setiap peserta didik," ucapnya.*