Umumnya pelaku memajang foto profil menawan demi menarik perhatian, juga dilengkapi data pribadi yang terkesan wah, padahal semuanya palsu.
Sejurus kemudian, dia bergentayangan mencari calon korban potensial berdasarkan penelusuran data diri dan berbagai unggahannya.
Ia pun mulai mengajak berkenalan, lalu pura-pura tertarik dan mengungkapkan perasaan cinta dalam jangka waktu yang tak lama. Semua dikesankan sangat natural, meski bila dinalar secara akal akan terasa janggal.
Baca Juga: DPUPR Sukoharjo pastikan enam proyek strategis selesai 100 persen, ini datanya
Tetapi karena yang dipilih adalah calon korban "potensial", mungkin dianggap kesepian atau dalam pencarian jodoh, sehingga segala tipu daya itu dengan mudah dipercaya.
Begitu korban tak banyak menaruh curiga, pelaku terus melaju dengan aksi petualangan asmara yang lebih mendalam, termasuk eksploitasi seksual secara daring.
Ketika korban dirasa telah jatuh cinta, jurus selanjutnya adalah mulai meminta dana dengan berbagai alasan yang diskenariokan seolah nyata dan mengundang iba. Semisal, pelaku mengaku terkena musibah, bencana, atau alasan kedaruratan lainnya.
Jumlah uang yang diminta pun bertahap, dari nominal tak seberapa, hingga perlahan terus meningkat, agar korban tak menyadari sedang diperas.
Baca Juga: Indonesia terpilih lagi jadi anggota Dewan HAM PBB, ini perolehan suaranya di Majelis Umum PBB
Biasanya, kasus penipuan asmara baru terbongkar tatkala korban mulai curiga terhadap hal-hal yang dianggap janggal karena pelaku tidak sempurna dalam memainkan skenario dan tidak berhasil membangun konsistensi.
Tetapi memang pada dasarnya segala kebohongan itu akan menimbulkan ketidakkonsistenan dan pasti mencederai logika. Hanya dibutuhkan sedikit kecerdasan untuk mengenali sesuatu yang tipu-tipu.(*)