"Untuk satu bulan rata-rata bisa memproduksi sekitar 100-200 miniatur. Jadi kita hanya proses perakitan, bubut, pewarnaan dan membuat lukisan, untuk cetah bahan mentah kita lempar ke pengrajin lain," jelasnya.
Meskipun hasil produksinya telah terjual hingga luar negeri, Theo mengaku cukup kesulitan dalam hal produksi.
Menurutnya saat ini ia kesulitan mencari anak muda yang mau bekerja di bidang kerajinan tangan.
"Kendala paling sulit mencari SDM, yang paling muda umurnya sekitar 40 tahun, yang paling tua umurnya 60 tahun. Makanya misal ada yang sakit ya terpaksa produksinya berhenti," ucapnya.
Selain itu juga sejak Pandemi Covid-19, penjualan kerajinannya mengalami penurunan hingga 70 persen lebih.
"Selain itu penurunan penjualan waktu Pandemi Covid-19, biasanya satu bulan omsetnya bisa Rp 10-30 juta, sekarang cari Rp 5 juta saja susah," bebernya.
Menurut pengamatannya, penjualan miniatur di Yogyakarta mengalami penurunan sejak beberapa tahun terakhir.
Ia menyebut bahwa adanya tren perubahan wisata menjadi penyebabnya.
"Kalau dulu kan trend-nya wisata belanja, kalau sekarang berubah jadi trend wisata foto. Kelihatannya banyak wisatawan tetapi untuk penjualan nggak naik, sama mungkin trend belanjanya beralih ke makanan," bebernya.
Meskipun demikian, Theo tetap optimis setelah dihilangkannya kebijakan PPKM oleh pemerintah dan situasi Covid-19 di dunia telah mereda, lambat lain produksi Walidi Craft akan ada peningkatan.*