HARIAN MERAPI - Seharusnya pemerintah lebih memilih opsi pembatasan dibanding menaikkan harga BBM bersubsidi, karena untuk menjaga daya beli rakyat.
Demikian menurut pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menanggapi sejumlah opsi yang disiapkan pemerintah terkait dengan kebijakan BBM bersubsidi.
"Kalau saya, pilihan pemerintah pada pembatasan saja, tidak menaikkan. Karena kalau menaikkan dampaknya ke inflasi. Inflasi kita sudah 4,9% sekarang. Ini 4,9% karena pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan ojol berpengaruh (inflasi) naik jadi 4,9%. Kalau itu BBM naik bisa jadi 8% nanti," ujarnya.
Baca Juga: Kondisi wilayah Korem 072 Pamungkas Yogyakarta kondusif
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan akan segera melaporkan skema alternatif harga bahan bakar minyak (BBM) ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pertama, pemerintah menaikkan subsidi sampai mendekati Rp700 triliun dengan risiko semakin membebani fiskal.
Kedua, pengendalian volume konsumsi BBM bersubsi jenis Pertalite dan Solar dengan menentukan kategori yang berhak mengkonsumsi BBM bersubsidi. Ketiga, menaikkan harga BBM bersubsidi.
Hal didasari sejumlah pertimbangan, terutama soal inflasi. Menurut Trubus, kebijakan pemerintah dalam penaikan tarif ojek daring atau ojol hingga 30% pada akhir bulan ini turut menyebabkan kenaikan inflasi.
Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri (KM) Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor.
Alokasi volume subsidi BBM jenis Pertalite dan Solar diperkirakan habis pada Oktober 2022, sehingga akan membengkak sampai 29 juta kiloliter hingga akhir tahun.
Baca Juga: Ekonomi terus tumbuh, Disdagkop UKM Sukoharjo pantau 110 ribu pelaku UMKM
Harga BBM bersubsidi berpeluang naik untuk mengantisipasi naikknya anggaran subsidi energi hingga Rp700 triliun dari Rp502 triliun.
Trubus mengungkapkan pemerintah patut menghindari memilih opsi penaikan BBM subsidi. Trubus mengungkapkan kekhawatiran jika pemerintah memilih opsi penaikan BBM subsidi. Hal itu dinilainya bisa memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah.
"Saya khawatir dampak lanjutannya terjadi public distrust. Situasi sosial-politik jadi kacau. Karena ini ekonomi nanti jadi politik, repotnya. Karena ini menjelang 2024, partai-partai akan berlomba untuk mencari massa dengan memanfaatkan kenaikan BBM. Jadi pemerintah harus prudent," tegasnya.
Trubus berpandangan pemerintah perlu membuat kebijakan bersifat khusus dengan memberikan memberikan langsung pada masyarakat yang terdampak.