Dalam kesempatan yang sama, Ferry menekankan persoalan terbesar terkait redenominasi bukan sekadar teknis, tetapi persepsi masyarakat.
“Hal yang perlu dikhawatirkan adalah efek psikologisnya, karena uang Rp1.000 jadi Rp1 bagi masyarakat kita yang hidupnya Rp50 ribu sehari,” jelasnya.
Ia kemudian memberi gambaran sederhana tentang potensi kegelisahan publik apabila kebijakan redenominasi diterapkan.
“Kalau dipotong dari Rp50 ribu jadi Rp50 perak kan, masyarakat kita akan merasa kok jadi sedikit sekali uangnya,” ucap Ferry.
Pengamat ekonomi itu pun menegaskan, fokus kebijakan ini harus mempertimbangkan persepsi masyarakat kecil.
“Jadi hal yang perlu kita perhatikan dalam kebijakan redenominasi sederhananya adalah memperhatikan dampak psikologis bagi masyarakat,” tutup Ferry.
Lantas, siapa sebenarnya yang mengemban wewenang atau tanggung jawab dalam menerapkan kebijakan redenominasi ini?
Menkeu Purbaya: Redenominasi Bukan Wewenang Kemenkeu
Baca Juga: Kapolres Salatiga Singgung Soal Insiden Laka di JLS Jadi Perhatian Publik
Secara terpisah, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menjelaskan, redenominasi bukan berada di bawah kendali Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
“Jadi kalau ada redenominasi, itu bukan wewenang Kementerian Keuangan; nanti Bank Indonesia yang akan menyelenggarakannya,” ujar Purbaya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Jumat, 14 November 2025.
Purbaya menyebut, isu redenominasi itu tercantum dalam PMK karena mengikuti struktur rencana legislasi.
Baca Juga: Ngisruh di Nagan, Tiga Pelajar SMP Diamankan Polsek Kraton, Dua Pelaku Lainnya Melarikan Diri
“Itu ada di PMK karena memang sudah masuk prolegnas jangka menengah 2025 sampai 2029 yang disetujui oleh DPR sama BI. Jadi kami hanya menaruh di situ saja,” jelasnya.