HARIAN MERAPI - Pemerintah Indonesia sedang menghadapi dilema besar dalam kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang sering dianggap sebagai solusi sementara untuk menjaga daya beli masyarakat.
Namun, kenyataannya, subsidi BBM saat ini lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu, sementara mereka yang seharusnya menjadi target utama justru semakin terabaikan.
Hal ini terungkap dalam data Kementerian Keuangan yang menunjukkan bahwa sekitar 80-95% dari subsidi BBM justru sampai ke rumah tangga mampu.
Ketergantungan Indonesia pada impor BBM semakin tinggi, dengan konsumsi mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi dalam negeri hanya 600 ribu barel per hari.
Situasi ini semakin rumit dengan prediksi konsumsi domestik yang akan terus meningkat, seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Pada tahun 2030, kebutuhan BBM Indonesia diperkirakan akan mencapai 1,4 juta barel per hari. Di sisi lain, produksi minyak dalam negeri terbatas, akibat menurunnya cadangan minyak yang mudah diakses.
Pemerintah pun kini harus mengkaji kebijakan baru untuk memastikan subsidi BBM lebih tepat sasaran.
Beberapa opsi sedang dipertimbangkan, mulai dari mengalihkan subsidi BBM ke bantuan langsung tunai (BLT), membatasi subsidi hanya untuk sektor-sektor tertentu seperti transportasi umum dan fasilitas publik, hingga kenaikan harga BBM secara bertahap hingga mencapai harga keekonomiannya.
Meskipun kebijakan ini tidak populis, banyak pihak yang menyarankan agar harga BBM disesuaikan dengan kondisi pasar agar anggaran negara tidak semakin tergerus.
Namun, sekadar menaikkan harga BBM tidak cukup. Indonesia harus mulai serius dalam merencanakan kebijakan energi yang lebih berkelanjutan untuk jangka panjang. Salah satu langkah yang perlu dipercepat adalah pengembangan energi alternatif.
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar untuk mengembangkan bahan bakar nabati (BBN), bahan bakar gas (BBG), dan kendaraan listrik sebagai solusi yang lebih ramah lingkungan dan lebih hemat biaya.
Dari perspektif kebijakan, pemerintah tidak hanya harus fokus pada subsidi yang tepat sasaran, tetapi juga pada perubahan struktural dalam sektor energi yang lebih luas.