Agung mengatakan, sebenarnya, pengawasan koperasi sudah tercantum dalam UU Nomor 17/2012 tentang Perkoperasian. Tapi, karena dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), maka kembali menggunakan UU 25/1992 yang tidak ada unsur pengawasan.
"Kebetulan saat itu, pemerintah sedang membahas UU Pemda (UU 23/2014). Maka, dititipkanlah pengawasan koperasi pada UU tersebut," kata Agung.
Sejak itu, pengawasan koperasi dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten, dan kota). "Dampaknya menjadi tidak karuan, dimana pengawasan koperasi simpan pinjam tersebar di 553 lembaga. Rinciannya, satu di KemenkopUKM, 38 dinas provinsi, dan 514 di kabupaten/kota, yang sumber daya dan dananya berbeda," kata Agung.
Anggota Tim Perumus RUU Perkoperasian, Arfian Muslim, melihat urgensi lembaga perizinan, pengaturan, dan pengawasan terhadap usaha simpan pinjam koperasi. "Selain melindungi anggota, juga bisa memberikan early warning system terhadap usaha simpan pinjam koperasi yang berpotensi bermasalah," kata Arfian.
Di samping itu, kehadiran LPK juga bisa meningkatkan standar tata kelola, kepatuhan, dan kepercayaan terhadap usaha simpan pinjam koperasi. "Sehingga, bisa bersaing dengan lembaga keuangan lainnya," ujar Arfian.(*)