MEMBUNUH IBLIS DI MALAM TAHUN BARU - Cerpen : Risda Nur Widia

photo author
- Kamis, 4 Januari 2018 | 18:30 WIB
5 cerpen
5 cerpen

-
1. Cara Mengusir Iblis
Ada dua iblis di dalam rumahmu. Iblis-iblis itu terlihat mengerikan. Iblis-iblis itu memiliki taring-taring yang tajam, mata besar dengan warna merah yang bengis, serta jari-jari yang kasar dan berkuku runcing. Iblis-iblis itu pun selalu bertengkar dan mencaci-maki apapun yang melintas di dalam kepalanya. Terkadang kau sering terkenan damprat dari amarah kedua iblis itu. Mereka—apabila sudah tersulut emosinya—akan mencaci-maki atau memukulimu. Maka—karena tidak ingin terkena tulah dari kutukan dua sosok mengerikan—setiap kedua iblis itu bertengkar, kau selalu menyalakan sebuah petasan. Hal ini sering kau lakukan sejak dahulu. Pertama yang melakukan ini—menyalakan petasan—adalah kakekmu. Pria itu meyakini kalau petasan dapat bengusir setan dan iblis. Kau demikian. Kau percaya petasaan yang kausulut dapat mengusir iblis-iblis—yang bersemayam di dalam rumahmu itu—pergi jauh. Suara petasan yang keras mampu menakut-nakuti, atau membuat kaget iblis-iblis itu. Sehingga akhirnya kau tak lagi menjadi tempat amukan kedua iblis laknat itu. Malam ini pun—seperti malam lainnya—dua iblis itu kembali bertengkar satu sama lain. Mereka tidak lelah meributkan hal-hal yang sebenarnya sangat sepele. Mereka memang iblis-iblis aneh. “Hari ini pasti kau selingkuh!” kata iblis berjenis kelamin jantan. “Maka kau pulang malam lagi.” “Kau yang main serong dengan perempuan-perempuan tak tahu diri itu!” dengus iblis berjenis kelamin betina. “Dasar keparat!” Suara tamparan terdengar seiring suara denting lonceng gereja di ujung gang kampungmu. Kau sendiri—karena tak mau terlibat—termenung di serambi rumah seraya mengenggam sebuah petasan di tangan. Suara kedua iblis itu semakin kencang di ruang tengah. Dan ketika benda—berupa kaca atau benda padat lainnya mulai terdengar—itu adalah pertanda bagimu untuk menyalakan petasan. Suara petasan itu akan mengaburkan suara para iblis itu. Paling tidak, kau tak mendengar lagi gerutu atau dengus laknat para iblis itu dari dalam rumahmu yang angker. Begitulah, setiap pertengkaran dua iblis itu memuncak, maka kau menyulut petasan. Yang lebih penting lagi, suara petasan yang memekakkan telinga dapat menghentikan pertengkaran dua iblis itu. Karena ulahmu menyalakan petasan, merekai mencarimu. Mereka memanggil-manggil namamu. “Lastari!” panggil iblis betina itu. “Di mana kau Lastari!” Kalau sudah demikian, kau melesat kabur. Namun kau tidak jera menyalakan petasan. Sekali lagi kau hidupkan petasan di depan rumah. Suaranya yang keras mendengung hingga mampu membelah gendang telinga. Iblis-iblis itu terus memanggil namamu—berulang-kali—dengan wajah yang bengis. Pun saat melihat semua itu, kau berpikir: iblis-iblis yang bersemayam di tubuh Ayah tiriku dan Ibu sudah pergi. 2. Para Iblis yang Pemalas dan Pesta-Pestanya Setiap kali melihat iblis berkelamin jantan itu bermalas-malasan di depan televisi, acap membuatmu muak. Iblis itu hanya menghabiskan puluhan kaleng bir beralkohol dan tertawa-tawa mengamati tayangan televisi. Rumah pun menjadi gaduh. Apalagi kalau iblis itu sudah mengundang teman-temannya untuk bermain judi, susana rumah seperti nereka. Mereka pun akan ribut mempertaruhkan uang masing-masing, dan terkadang meniduri wanita secara bergantian. Kau pun menjadi mengerti mengapa Ibu—iblis betina itu—sering marah pada iblis laki-laki itu. Iblis betina itu mungkin jengah dengan tingkah iblis jantan itu yang gemar mabuk-mabukan, bermain judi, dan bergonta-ganti pasangan. Kau sendiri juga pernah melihat Ibu ditiduri salah satu teman iblis jantannya karena uang yang digunakan untuk berjudi sudah habis. Rumah ini memang sudah dilaknat. Tak ada pula yang dapat kau lakukan untuk membantu. Kau hanya menyalakan petasan ketika keadaan sudah semakin gaduh dan kacau. Dengan menyalakan petasan itu, kau berharap iblis-iblis itu segera enyah dari rumahmu. Namun yang terjadi sering sebaliknya. Terkadang usahamu mengusir para iblis gagal. Kau pun malah menjadi sering terkena tamparan, atau amukan dari salah satu ibilis-iblis itu—ketika menyalakan petasan di halaman atau di dalam rumah. Dari semua yang terjadi kau acap tak habis pikir: mengapa Tuhan membiarkan makhluk terkutuk itu berkeliran di dalam rumahku? Apakah rumah ini telah dikutuk? Kau tak tahu. Namun dahulu rumah ini tampak indah seperti rumah-rumah pada umumnya. Sayangnya keharmonisan itu hanya sementara. Setelah Ayah kandungmu meninggal dan Ibu menikah lagi dengan pria asing yang tak kau suka, keadaan berubah. Tuhan menciptakan kesempatan, tapi apabila seorang salah mengambilnya, hal buruk bisa terjadi. Demikianlah yang dilakukan Ibu waktu itu. Ia salah memilih langkah di dalam hidupnya; hingga menentukan juga kepada hidupmu dan kebahagian seisi rumah. Rumah yang bahagia menjadi sarang iblis karena Ibu memilih menikahi seorang pria asing yang ditemukan di tepi jalan. Ibu yang semula adalah seorang wanita yang lembut, perlahan berubah menjadi wanita binal dan liar. Bahkan Ibu menjadi iblis betina pada malam tahun baru dua tahun lalu. Seorang keparat yang Ibu temukan di jalan itu, sering memaksamu untuk memanggilnya Ayah. Namun kau tidak pernah mau karena laki-laki itu bukan ayahmu. Kau menganggap laki-laki itu adalah seorang iblis liar yang baru saja melarikan diri dari neraka. Sejak kejadian itu rumahmu seperti menjadi sarang bagi iblis-iblis berpesta. Iblis-iblis itu seakan tak kenal waktu ketika berpesata. Sedangkan Ibu, iblis betina itu, entah mengapa—sejak dipaksa iblis jantan tidur dengan temannya karena kalah berjudi—sering pergi bersama salah satu teman iblis jantan untuk berkencan. Namun ketika Ibu kembali, pertengkaran akan dimulai. Mereka akan saling mengutuk. Bahkan seakan ingin saling membunuh. Maka kau selalu menyalakan petasan agar iblis-iblis itu pergi. 3. Rencana Membunuh Iblis Malam ini rasa rindu bergelayut di dalam hati. Kau ingat Ayah—yang sudah lama meninggal--merupakan seorang pria baik yang telah membusuk entah di mana. Kau tahu sebenarnya Ayah mati bukan karena kecelakaan, tetapi setelah Ibu menikamnya dari belakang. Ibumu menusuk Ayah dengan sebilah pisau dapur dan membuang mayat Ayah di sebuah sungai. Ibumu melakukan itu karena dirinya sudah hamil satu bulan dengan pria gelap yang ditemukannya di jalan dan berakhir dengan keguguran. Air matamu meretas jatuh mengingat takdir muram Ayah. Kau ingin memeluk Ayahmu atau bermain petasan, seperti halnya kakekmu ketika masih hidup. Karena dahulu di waktu malam tahun baru akan tiba, kau selalu bermain petasan berdua. “Kakekmu benar. Suara petasan dapat mengusir setan, Lastari” kata Ayahmu. “Itu sebabnya petasan dinyalakan di malam tahun baru. Semua setan akan pergi tidak mengganggu manusia pada kehidupan berikutnya.” Aku bergidik ngeri—sekaligus tenang—mendengar cerita ayah mengenai setan dahulu. “Iblis memang dapat terus berkeliaran hingga akhir zaman,” lanjut Ayahmu lagi. “Maka kita harus mengusirnya.” Lamunanmu terus melambung hingga mendadak terdengar sebuah ketukan di pintu—yang membuyarkan segalanya. Ketukan itu semakin keras. Namun kau kukuh tidak membukanya. “Lastari, buka pintunya!” Panggil iblis jantan itu. “Cepat buka pintunya!” Kau tak mengubrisnya. Kau mendekam di dalam kamar dengan tubuh mengigil ketakutan. Kau tak dapat membayangkan sebuah kejadian buruk yang mungkin akan menimpamu bila membukanya. Suara ketukan itu semakin terdengar nyaring. Bahkan iblis itu berusaha merubuhkan pintu kamarmu. Iblis itu memekik-mekik lantang. “Lastari! Buka pintunya! Ayah ingin bicara denganmu!” Pitam iblis itu. “Ada sesuatu yang ayah berikan padamu!” Di dalam kamar kau terus berdoa. Namun iblis itu terus memaksa agar dapat masuk ke kamarmu. Gesit, kau meloncat dan mengambil sebuah petasan di dalam kotak kecil. Kau nyalakan petasan itu berulang-kali sampai suara yang menghentak-hentak di luar pintu berhenti. Apakah iblis itu pergi? Tidak. Iblis di dalam rumah ini tidak akan pergi! Iblis itu malah masuk melalui jendela kamarmu. Iblis itu kemudian menubruk tubuhmu dari belakang dan melucuti pakaianku satu per satu. Iblis itu kembali membenamkan kutukkan di dalam rahimmu untuk kelima kalinya. 4. Cara Menyalakan Petasan dan Membunuh Iblis Betina Malam ini adalah malam tahun baru terindah. Kembang api di langit tak henti berdentang di tengah malam yang penuh doa. Hati-hati—karena dendam dan amarah—kau menyelinap ke dalam kamar iblis itu. Iblis betina itu tampak tidur lelap dengan mulut terbuka ketika kau membekapnya dan menjejalkan sebuah petasan ke dalam mulutnya. “Mari kita merayakan malam tahun baru tanpa tangis dan kesedihan!” Katamu sembari menghidupkan sumbu petasan. Dan, dor! Petasan itu meledak; menghancurkan mulut wanita itu. Kau pun menyeringai melihat tubuhnya terkulai tak bergerak. 5. Cara Menyalakan Petasan dan Membunuh Iblis Jantan Petasan dan kembang api semakin nyaring di luar dan kau kembali memanjatkan doa. Seorang pria datang dengan langkah limbung. Iblis jantan itu mendekat dan menubruk tubuhmu. Ia kembali menyeretmu ke dalam lingkar kutukan itu. Namun malam ini kau tak melawannya. Bahkan kau melayaninya hingga ia puas dan lemas. Setelah bercinta, hati-hati, kau mengikat kemaluanya dengan sebuah petasan. Dan, dor! Kemulaun pria itu hancur! Kau tertawa melihat pria itu meringkik kesakitan. Namun kau belum puas menikmati malam tahun baru ini. Kau telan semua petasan itu sampai menyumbat tenggorokan dan mulutmu. Kau meyulut sebuah petasan yang bersemayam di dalam tenggorokan dan mulutmu. Dan, dor! Semoga iblis-iblis itu pergi. (*) Risda Nur Widia. Bukunya cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015) dan Tokoh Anda yang Ingin Mati Bahagia Seperti Mersault (2016). Cerpenya tersiar di berbagai media.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: admin_merapi

Rekomendasi

Terkini

X