JAKARTA, harianmerapi.com - Selama pandemi Covid-19, manusia mengalami bentuk hubungan baru dengan kematian. Pasalnya setiap hari melihat teman, anggota keluarga, dan orang lain meninggal.
Kebanyakan orang dalam masyarakat modern secara efektif menjaga kematian pada jarak yang jauh. Kematian adalah peristiwa yang jarang terjadi yang terjadi di balik pintu tertutup, peristiwa yang insidental dan jarang terjadi.
Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan kenyataan ini, dan dengan demikian, mengintensifkan apa yang oleh para psikolog disebut 'arti-penting kematian', yaitu kesadaran kita akan kerentanan kita sendiri terhadap kematian.
Baca Juga: Pentingnya Mencintai Diri Sendiri Agar Hidup Bahagia, Simak Tipsnya Berikut Ini
Komunitas Salihara Arts Center menggelar Kelas Filsafat berjudul Narasi Maut dalam Kosmologi dengan pengampu Karlina Supelli, Direktur Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Kelas ini berlangsung secara daring setiap Sabtu hingga 28 Agustus 2021 mendatang. Bertujuan untuk memperluas perspektif, wawasan dan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis terhadap berbagai fenomena sosial yang terjadi saat ini.
Pengampu Kelas Filsafat, Karlina Supelli mengakui kehidupan dan kematian sebenarnya adalah salah satu keprihatinan tertua dan paling meresap dalam filsafat.
“Faktanya, hampir setiap tradisi filosofis mengeksplorasi bagaimana manusia harus berhubungan dengan kehidupan dan kematian. Platon bahkan melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah untuk mempersiapkan kita menghadapi kematian,” ungkap Karlina dalam keterangannya, Minggu (15/8/2021).
Dia mengungkap selama setengah abad terakhir, filsafat tentang hidup dan maut telah mengalami kebangkitan. Di antara pertanyaan utama tentang hidup dan maut yang dieksplorasi oleh para filsuf adalah apakah kematian mewakili akhir dari kita, atau bisakah kita selamat dari kematian bahkan mungkin menjadi abadi? Haruskah kita menginginkan keabadian seperti itu? Bagaimana seharusnya perasaan kita tentang fakta bahwa kita fana? Apakah kematian itu sendiri pantas ditakuti—atau respons emosional lainnya seperti kemarahan atau rasa terima kasih? Apakah fakta bahwa kita mati mengancam prospek bahwa hidup kita bisa bermakna?
Serta, apakah kematian itu buruk bagi kita, dan jika demikian, bagaimana cara mengantisipasinya? Kehidupan dan kematian juga merupakan bidang penelitian yang sangat dinamis karena melintasi berbagai subdisiplin dalam filsafat, termasuk etika, metafisika, filsafat politik, filsafat kedokteran, filsafat agama, bahkan filsafat teknologi.
“Keempat sesi yang digelar melalui Kelas Filsafat memberi gambaran tentang evolusi pemikiran manusia dan perdebatannya untuk memaknai eksistensinya dalam alam semesta sejak zaman Mesopotamia (3000-an SM) sampai kosmologi abad ke-21. Melalui Kelas Filsafat ini, para peserta akan belajar tentang kehidupan dan kematian dalam terang kosmologi sepanjang sejarah,” jelas Karlina Supelli.
Baca Juga: Tat Mannerz Kisahkan Perjalanan Hidup Lewat Debut Fall Risk
Pemahaman hidup dan maut dalam kosmo-mitologi sampai kosmo-teologi mengawali paparan Karlina Supelli. Dengan gaya khasnya, paparan Karlina mengalir ringan meskipun materi yang disampaikan mengupas cakupan sejarah pemikiran kosmologi tentang kehidupan dan kematian dari masa ke masa yang dibangun manusia.
Dalam kosmogoni mitis bahari, manusia mendapati kisah-kisah tentang dunia dan kehidupan yang bermula dari suatu kematian. Namun, kematian pada mulanya bukan bagian dari realitas. Maut hadir akibat pelanggaran atau kezaliman. Dalam kosmo-teologi agama-agama Abrahamik, seluruh ciptaan terkena konsekuensi pelanggaran itu.