lifestyle

IDAI ingatkan, TBC lebih berbahaya dari Covid-19, harus ditracing, ini sebabnya

Selasa, 21 Maret 2023 | 10:00 WIB
Ilustrasi - Tuberkulosis (TBC). ( ANTARA/HO-Sutterstock)



HARIAN MERAPI - Penyakit Tuberculosis atau TBC tak boleh dianggap enteng, bahkan lebih berbahaya dibanding Covid-19.


Karena itu, seperti juga Covid-19, penyebaran penyakit menular ini harus dilacak atau ditracing.


Demikian diingatkan Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Rina Triasih, pada konferensi pers yang disiarkan secara daring, Senin (20/3).

Baca Juga: Jelang Ramadhan, Satgas Pangan Pantau Harga Kebutuhan Pokok di Pasar Tradisional Temanggung


Menurutnya, TBC lebih mengkhawatirkan, mengingat gejala orang yang terjangkit tidak akan muncul dalam waktu singkat seperti COVID-19 yang dapat dideteksi hanya dalam hitungan hari, dan paling lama dua minggu.

“Kontak tracing khusus TBC itu sudah ada sejak 2006 tapi masih tidak dilakukan dengan baik,” ujar Rina.

Rina menjelaskan, gejala TBC bagi seseorang yang terjangkit baru akan muncul hingga dua tahun setelahnya. Sedangkan pada sebagian besar kasus, gejala akan muncul dalam periode satu tahun.

Baca Juga: Peringatan HUT ke-70 Ikahi, Hakim Harus Mampu Tingkatkan Integritas

“Sehingga kalau kita kontak dengan pasien TBC tidak akan ada gejala dalam waktu dekat, akan terlihat sehat, sehingga ini perlu kita waspadai,” tambahnya.

Pada tahun 2021, tercatat 969 pasien TBC di Indonesia, namun Rina menyebut capaian utama program TBC Nasional seperti indikator penemuan dan pengobatan pada TB sensitif obat (SO) maupun TB resisten obat (RO) masih di bawah target.

“Yang sudah terdata masuk pada program TBC Nasional itu baru sekitar 46 persennya, artinya, masih ada 54 persen kasus ini yang hilang, tidak terdeteksi,” kata Rina.

Kabar baik, Rina menyebut pada tahun 2022 kasus hilang tersebut telah menurun hingga tersisa 25 persen.

Baca Juga: Ciptakan kesetaraan gender, Pemkab Sukoharjo sosialisasi Perda PUG

Meski begitu, kasus TBC pada anak di tahun lalu melonjak hingga mencapai 88.000 kasus.

“Apakah pelonjakan ini akibat pandemi mereka banyak di rumah jadi tidak berobat, bisa jadi daya tahan anak-anak yang semakin rendah, atau memang tracing-nya yang semakin gencar? Ini masih harus dievaluasi,” imbuhnya.

Halaman:

Tags

Terkini