HARIAN MERAPI - Ini peringatan bagi mereka yang sering olahraga lari. Dokter mengingatkan waspada nyeri dada saat berlari. Gejala apa ?
Hati-hati, apakah nyeri tersebut karena ada gangguan jantung atau hanya karena kurang pemanasan.
Dokter Subspesialis Kedokteran Olahraga di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) Dr. dr. Listya Tresnanti Mirtha, Sp.KO., Subsp.APK(K), MARS mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai nyeri dada yang muncul saat sedang melakukan aktivitas fisik seperti berlari.
Baca Juga: Presiden Prabowo Semangati Siswa Sekolah Rakyat: Belajar yang Baik, Hormati Guru
“Jadi ketika nyeri dada ketika berolahraga, ya nomor satu ditunda dulu untuk betul-betul dipastikan. Apakah nyeri ini ada kaitannya dengan gangguan di jantung, atau karena kurangnya persiapan,” kata Listya dalam acara diskusi kesehatan tentang persiapan olahraga lari di Jakarta, Selasa.
Listya mengatakan nyeri dada bisa disebabkan karena kurang pemanasan sebelum berolahraga, untuk mencegah hal yang tidak diinginkan disarankan untuk berhenti sejenak dan mengamati nyerinya.
Jika saat berhenti nyeri dada berangsur hilang kemungkinan bukan karena penyakit jantung. Namun jika nyeri terus berulang, Listya menyarankan untuk tidak membiarkannya dan memeriksakan diri.
“Tapi juga jangan terlalu parno (paranoid), karena sering kali kurang pemanasan dan latihan yang berlebihan. Jadi terlalu sering tidak dengan tahapan yang benar, itu juga bisa menyebabkan nyeri dada juga,” katanya.
Baca Juga: Immanuel Ebenezer Diperiksa Soal Tiga Mobil yang Hilang dari Rumah Dinas
Listya mengatakan karakteristik nyeri dada yang diharuskan berhenti berolahraga, jika saat berlari dada terus terasa sesak disertai nyeri kepala. Ia mengingatkan untuk tidak langsung berhenti namun dengan mengurangi kecepatan terlebih dahulu atau berjalan.
Selain itu, Listya juga mengatakan untuk melihat kesiapan diri saat ingin mulai berolahraga lari, dan tidak memaksakan diri untuk mengikuti pencapaian orang lain atau hanya takut tertinggal tren atau fear of missing out (fomo).
WHO telah memberi pedoman bahwa bergerak sedikit lebih baik dari pada tidak bergerak sama sekali seperti berjalan minimal 150 menit per minggu.
Baca Juga: Korban Meninggal Akibat Banjir Bandang di Bali Bertambah Jadi 16 Orang
“Fomo itu boleh, tapi kita harus mengukur sejujur-jujurnya, dan tidak pernah boleh pasang target seperti orang lain. Target kita itu adalah target kita, harus sesuai dengan bagaimana start kita, jadi nggak boleh malu,” kata Listya.*