Ada sejumlah alasan mengapa masyarakat terus melestarikan tradisi mudik. Tujuan utamanya adalah menjalin silaturahmi kepada orang tua, kerabat, dan tetangga seraya berbagi sedikit rezeki hasil kerja di perantauan kepada saudara di kampung. Bagi perantau, mudik juga sebagai pengingat asal-usul daerah kelahiran. Sedangkan perjalanan mudik bisa menjadi terapi psikologis dengan memanfaatkan libur Lebaran dengan berwisata.
Di luar semua tujuan itu, Mulih Udik kerap menjadi ajang menunjukkan eksistensi keberhasilan merantau di kota.
Alasan terakhir inilah yang membuat banyak orang mengerahkan segenap upaya untuk membawa pulang harta bendanya, meski amat merepotkan, demi membangun gengsi di tempat tujuan. Ketika para perantau berikut anggota keluarganya di kampung memiliki motivasi yang sama, maka Lebaran menjadi momen adu gengsi antartetangga di desa.
Kegiatan saling kunjung ke rumah tetangga bukan sekadar silaturahmi, melainkan sembari menyelidiki capaian apa saja yang telah diperoleh mereka yang tiba dari kota.
Dahaga keingintahuan tetangga pun disambut dengan pamer prestasi dalam pengumpulan rezeki yang dimanifestasikan berupa barang-barang mewah baik yang dikenakan di badan, dipajang di rumah atau pengisi garasi. Kerasnya perlombaan unjuk harta akhirnya malah menodai niat mulia mudik, yaitu silaturahmi.
Oleh karena itu, sebelum datangnya hari raya, masih ada waktu untuk beristighfar, memperbaiki niat, dan mengembalikan hakikat tujuan mudik, agar perjalanan jauh yang telah susah payah ditempuh dapat berbuah ibadah.(*)