HARIAN MERAPI - Penderita kanker payudara membutuhkan dukungan sistem kesehatan yang inklusif.
Demikian disampaikan dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi-onkologi medik Agus Jati Sunggoro dalam keterangan persnya pada Senin.
Ia mengemukakan pentingnya dukungan sistem kesehatan nasional yang adaptif dan inklusif dalam upaya penanganan kanker payudara di Indonesia.
"Kementerian Kesehatan telah menyediakan program skrining gratis untuk empat jenis kanker, termasuk kanker payudara, yang seluruh biayanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Namun, ketersediaan program saja tidak cukup," kata dr. Agus Jati Sunggoro, Sp.PD-KHOM, FINASIM .
"Penguatan layanan primer, pendekatan multidisiplin yang terkoordinasi, pembiayaan yang lebih inklusif dan terjangkau, dan reformasi pendidikan kedokteran harus menjadi bagian dari solusi," kata lulusan Universitas Sebelas Maret itu.
Menurut dia, penerapan kebijakan dan program kesehatan pemerintah perlu disertai dengan upaya konsisten untuk mengatasi akar persoalan seperti peningkatan kapasitas tenaga medis di fasilitas pelayanan kesehatan primer serta edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini kanker payudara.
Dia mengemukakan pula pentingnya reformasi untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan kedokteran berkualitas yang biayanya lebih terjangkau.
Dokter Agus juga menekankan pentingnya keberlanjutan pendanaan program dan peningkatan akses terhadap pengobatan inovatif, seperti terapi Trastuzumab, dalam penanganan kanker payudara.
"Obat ini sebetulnya sudah masuk FORNAS dan direkomendasikan untuk pasien stadium awal sebagai terapi pencegahan kekambuhan. Tapi, di lapangan BPJS baru menanggung untuk pasien stadium lanjut," katanya.
Saat ini sudah berkembang pengobatan inovatif yang lebih mutakhir yaitu Trastuzumab Deruxtecan (T-DXd) yang merupakan golongan konjugat obat antibodi terbaru.
Berdasarkan uji klinis fase III DESTINY-Breast04, obat ini terbukti dapat memperpanjang median progression-free survival (angka ketahanan hidup tanpa progresi penyakit) pasien HER2-low menjadi 9,9 bulan—hampir dua kali lipat dibandingkan kemoterapi standar—dan meningkatkan angka keseluruhan harapan hidup hingga 23,4 bulan.
Tujuh obat ini telah tersedia di Indonesia, namun belum masuk dalam cakupan pembiayaan BPJS sehingga hanya dapat diakses oleh pasien yang memiliki kemampuan finansial.