Dear orang tua, ini beda bercanda dengan perundungan dan penganiayaan

photo author
- Kamis, 22 Februari 2024 | 21:25 WIB
Tangkapan layar-Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarty dalam gelar wicara "Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan dan Penerapan Disiplin Positif" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (22/2/2024). ( ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)
Tangkapan layar-Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarty dalam gelar wicara "Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan dan Penerapan Disiplin Positif" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (22/2/2024). ( ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari)

HARIAN MERAPI - Paraorang tua, guru, dan siswa sebaiknya dapat membedakan perilaku siswa yang bercanda dengan yang mengarah pada perundungan.

"Bedanya bercanda dengan perundungan, kalau bercanda kan kita sama-sama suka, sama-sama tertawa senang, kalau perundungan, yang satu senang, satu tersakiti. Jadi bully dengan bercanda itu tidak sama," kata Pemerhati Anak dan Pendidikan Retno Listyarty dalam gelar wicara yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (22/2/2024).

Retno menyampaikan hal tersebut merespons kasus tindak kekerasan yang sedang viral di salah satu SMA di Serpong, Tangerang Selatan.

"Kasus yang sedang viral sekarang, yang melibatkan anak seorang artis, disebutnya kan bully ya, padahal sebenarnya bukan bully. Jadi dalam Permendikbudristek 46 tahun 2023 tentang Pencegahan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, kekerasan itu ada enam," paparnya.

Baca Juga: PSS tampil trengginas, bekuk Bhayangkara FC dengan skor 4-1

Adapun enam kekerasan yang disebutkan dalam Permendikbudristek tersebut yakni kekerasan fisik, perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, serta kebijakan yang mengandung kekerasan.

"Kasus video yang beredar viral itu kategori kekerasan fisik, namanya penganiayaan, bukan bully," ucap Retno.

Ia juga menegaskan, terkait perundungan, apabila ada anak yang melaporkan kepada tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (PPK) tentang perundungan, maka sekolah harus menanggapinya secara serius.

"Kalau ada yang lapor ke PPK sekolah, bilang kalau saya di-bully, dan pelaku bilang, kami bercanda, itu bukan, karena kalau ada yang tersakiti, jatuhnya tidak bercanda lagi," ujar dia.

Baca Juga: Panji Gumilang dijerat perkara TPPU, Bareskrim telah serahkan berkas ke Kejagung, ini kasusnya

Ia juga mencontohkan terkait kekerasan psikis, misalnya ada salah satu guru di kelas, yang meski tidak memukul atau menyakiti siswa, tetapi kata-katanya menyinggung dan berdampak ke psikis siswa, maka sudah dikategorikan kekerasan psikis.

"Lalu yang mungkin terjadi dan sering kita tidak sadari adalah intoleransi dan diskriminasi, karena perbedaan agama, suku, dan lain-lain, atau perbedaan ekonomi juga bisa," katanya.

Kemudian, jenis kekerasan yang terakhir yakni terkait kebijakan, dimana pihak sekolah dan dinas pendidikan bisa saja mengeluarkan aturan tetapi mengandung kekerasan.

"Jadi pernah ada kejadian, sekolah bikin aturan dan masuk tata tertib, anak yang ketahuan merokok di kelas hukumannya ditampar oleh teman satu kelas, itu berarti mengandung kekerasan, atau misalnya datang terlambat, lalu mendapatkan hukuman push up, sit up, kalau saya bilang, enggak boleh melakukan itu," tutur dia seperti dilansir Antara.

Baca Juga: Kebutuhan masyarakat tinggi, distribusi bahan pokok pangan harus dipercepat

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Widyo Suprayogi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X