PENGEPUNGAN MATARAM ATAS BATAVIA 1628 DAN 1629 (1) - Utusan Batavia Ditolak Mataram

photo author
- Minggu, 23 Desember 2018 | 07:43 WIB

-

PUNCAK kekuasaan Mataram Islam ada di masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645). Pada masa pemerintahannya itu bisa dikatakan bahwa Jawa, Madura, dan beberapa pulau lain berada di bawah kekuasaan Mataram. Bercokolnya Kumpeni Belanda di Batavia menjadikan Sultan Agung merasa terganggu. Sebab Belanda merasa tidak perlu tunduk pada Mataram.

Sementara Banten yang berada di “belakang” Batavia merasa aman dan tidak perlu terburu-buru tunduk pada Mataram. Jika pun Mataram hendak menundukkan Banten, Mataram harus “melewati” Batavia yang berada di tangan Belanda. Itu sama artinya dengan Mataram harus menundukkan Batavia terlebih dulu sebab pada intinya Belanda tidak mau tunduk pada Mataram. Belanda merasa bahwa Batavia adalah bagian dari Belanda yang berada di luar tanah Nederland.

Sikap tegas atau keras dari Sultan Agung pada Belanda ditunjukkan dengan berbagai sikap. Beberapa sikap tegasnya misalnya dimanifestasikan dengan penyerbuan ke Batavia sebanyak dua kali, yakni tahun 1628 dan 1629. Penyerbuan atas Batavia ini dinamakan Ekspedisi Kaladuta I dan Kaladuta II.  Namun sebelum hal itu dilaksanakan, Sultan Agung sesungguhnya telah menunjukkan sikap-sikap keras. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Kumpeni Belanda sendiri. Bahkan Kumpeni juga tidak merasa perlu mengucapkan ucapan selamat kepada Mataram atas keberhasilan penaklukan besarnya atas Surabaya dimana Surabaya diserang sebanyak enam kali, yakni tahun 1620, 1621, 1622, 1623, 1624, dan 1625. Pada rentang tahun itu Sultan Agung juga menaklukkan Madura (1624), Sukadana/Kalimantan (1622).

Tensi ketegangan hubungan antara Mataram-Batavia ini setidaknya kelihatan meninggi pada tahun 1625. Pada tahun 1625 ini tidak ada perutusan Belanda ke Mataram, padahal sebelumnya bisa dikatakan Belanda relatif rutin mengirim utusannya ke Mataram sebagai bentuk atau cara menjaga hubungan baik. Tahun 1625 itu Belanda di Batavia sesungguhnya kekurangan persediaan beras, namun Belanda tetap tidak mengirimkan utusannya ke Mataram sekalipun Mataram selama ini sebagai penyedia beras bagi mereka. Pada sisi lain Sultan Agung pada tahun itu melarang keras pengeluaran beras dari Mataram. Pelanggaran terhadap hal ini akan terkena hukuman badan. Pada tahun itu pula Belanda masih merasa belum merasa perlu harus tunduk atau mengemis pada Mataram untuk kebutuhan berasnya.

Pada tahun itu pula ada dua kapal pesiar Belanda yang melintas di perairan Jepara dikejar dan dirompak. Bulan Agustus 1626 Sidang Dewan Belanda memutuskan untuk sekali lagi mengirimkan pesan kepada Mataram melalui utusan khusus. Surat-surat tersebut berisi pujian dan keluhan tentang kejadian di perairan Jepara tersebut. Selain itu, perutusan khusus itu juga disertai dengan tanda hormat senilai sekitar seribu tail uang pecahan “achten”.
Demikian seperti yang dituliskan HJ. De Graaf dalam buku karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: PT Utama Pustaka Grafiti, Cetakan 2, 1990.
Seorang Kepala Perdagangan Belanda yang bernama Sebald Wonderaer pada 23 Agustus 1626 juga dikirim ke Mataram sebagai kepala rombongan utusan. Akan tetapi utusan ini ketika baru sampai di Tegal sudah ditolak oleh Mataram karena penulisan gelar raja dipandang kurang tinggi dan para utusan bersama surat pengantar mereka dianggap kurang merendahkan diri. Utusan tersebut kembali lagi dengan membawa contoh resmi tentang penggunaan gelar-gelar raja Mataram selanjutnya dalam surat-surat. Begitu pula mereka mewujudkan sikap merendahkan diri mereka. (Albes Sartono)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: admin_merapi

Tags

Rekomendasi

Terkini

X